Kamis, 24 Januari 2008
Pendidikan Komprehensif

Pembahasan mengenai pendidikan, baik itu lontaran bahwa sekolah menjadi lahan kapitalisasi, sekolah lahan bisnis bagi orang yang mempunyai modal dan semua keluhan kebanyakan orang yang memang realitasnya biaya sekolah sangat tinggi belum lagi kalau kita menengok, menimbang, melihat secara dalam buah yang dihasilkan dari sebuah lembaga pendidikan yang yang biayanya cukup tinggi. Itu semua seharusnya membawa kita pada puncak piramid ke persoalan nasionalisme kita. Kenapa kita perlu mengkaitkan persoalan pendidikan, bisnis, dan buah dari pendidikan dengan nasionalisme? Arah tujuan pendidikan adalah mencerdaskan anak bangsa, (saya kira kata cerdas ini pun harus dimaknai secara lebih dalam dan luas, mandiri, bijaksana, terampil) supaya generasi penerus ini mampu membawa bangsa ini ke tahapan yang lebih maju. Kalau sekarang kita meributkan sekadar persoalan ”biaya” dan kita tidak melihat tujuan pendidikan itu sendiri maka yang terjadi adalah mencari sekolah yang ”asal”. Lalu pertanyaan lebih lanjut mau dibawa kemana bangsa ini ketika kita terlalu sering melihat generasi muda kita sekolahnya hanya asal? Pertanyaan ini bukan menyalahkan generasi muda, pertanyaan ini untuk semua generasi. Generasi muda masih menjadi tanggung jawab generasi tua Tetapi lembaga-lembaga pendidikan juga harus senantiasa mengoreksi diri mengavaluasi visi-misi, apakah proses dan praktek kegiatan (termasuk materi) selalu dijalankan sesuai dengan visi-misi lembaga tersebut. Selain itu yang harus diperhatikan adalah outputnya? Sekolah sudah harus membuat standardisasi bahwa kelompok bermain (adalah saat anak memang bermain), TK (saat anak bermain) Sekolah Dasar (Saat anak mulai dibangunkan karakternya supaya fundamen dalam diri anak tersebut benar-benar kuat) dan seterusnya. Standardisasi ini berfungsi untuk paling tidak menseragakamkan output. Di sekolah A anak pada masa kelompok bermain..benar-benar dieksplorasi dunia kecilnya untuk bermain dari situ juga mulai kelihatan karakter si anak sehingga orang tua bisa mengaharapkan rekomendasi dari sekolah bahwa anak ini memiliki karakter seperti ini (evaluasi ini seharusnya day to day- maka sebaiknya dalam satu kelas juga ada standard tidak boleh lebih dari 20 siswa). Jadi di rumah orang tua juga mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pendidikan lanjut (ini baru proses pendidikan yang komprehensif dan kontinyu). Di sini kelihatan bahwa tanggung jawab menyiapkan anak bangsa ini bukan sekadar tugas lembaga pendidikan ini juga tugas orang tua. Saya ingat persis pada waktu kecil saya, pendampingan orang ke kami saat kami belajar begitu ketat (meski ada kekuarangan mungkin orang tua kita dulu lebih banyak yang mengejar hasil nilai yang baik, bukan pendampingan dan pendidikan dalam kerangka yang lebih luas). Senin, 19 November 2007 tujuh saat saya mengikuti acara ”beyonk Marketing By Hermawan Kertajaya di salah satu stasiun telivisi, hasil akhirnya cukup menorehkan goresan permenungan yang begitu dalam. Seorang Adnan Khrisna (keturunan India yang sudah bersusah payah dan akhirnya menjadi warga Negara RI, waktu itu sebagai Nara Sumber dalam acara ini) memberikan ulasan yang sangat dalam mengenai nasionalisme. Beliau mengatakan bahwa Indonesia akan habis kalai di sini dipaksakan hanya ada, misalnya satu agama saja. Dari perbincangan itu saya mencatat bahwa ke-Indonesiaan (bangsa Indonesia) ini bisa menjadi abadi apabila kita menyadari bahwa Indonesia ada dalam kebhinekaan, keragaman, hetererogenitas. Keberagaman ini apabila disadari betul sebagai sesuatu granted ”rahmat” ini yang timbul kemudian saling menghargai (bukan sikut-sikutan atau menjatuhkan bahkan mematikan) dan buahnya adalah kehormonisan. Bagaikan dawai senar itu menjadi indan dan harmonis ketika senar yang satu dengan yang lain menimbulkan nada yang berbeda, mereka saling melengkapi, saling mengisi hingga menimbulkan komposisi nada yang indah. Lambang Pancasila juga menjadi sesuatu yang mendasar yang mengajari kita artinya kesempurnaan. Tidak ada kelompok yang memandang kelompok lain lebih hina karena berbeda cara, agama padahal tujuannya sama. Pembahasan pendidikan juga tidak bisa dijauhkan dengan persoalan moral, agama karena saya melihat adanya sebuah penyelewengan dari sebuah proses apabila hasil dari sebuah prsoses pendidikan itu tidak mengarah pada moral dan pemahaman keagamaan yang baik. Indikasi moral dan keagamaan yang baik akan terlihat pada hasil hubungan kemanusiaan (yang terekspresikan dalam kehidupan sehari-hari) yang harmonis. Kondisi kaos sekarang saya melihatnya sebagai proses menuju kosmos yang nomos. Kalau senar guitar ini adalah proses stem menuju nada-nada yang saling support satu sama lain sehingga menimbulkan nada0nda indah dan harmonis. Pendidikan yang komprehensif akan sangat memperhatikan beberapa hal ini:

  1. visi dan misi jelas
  2. proses selalu berorientasi pada visi-misi
  3. perhatian harus diarahkan juga pada hasil
  4. keseimbangan antara knowladge ilmiah, skill, dan moral-keagamaan
  5. secara mundial buahnya adalah hubungan antar manusia dan alam ini akan semakin membaik.

Kini saatnya kita semua melihat ini dengan kaca mata optimis ”tidak ada anak muda bermasalah kalau proses pendidikan ini benar, dengan kata lain mungkin yang bermasalah generasi kita yang tua”. Mari generasi muda saatnya kita sadar bahwa pendidikan generasi muda itu sebenranya menjadi tanggung jawab kita semua, kita perlu mewujudkan pendidikan yang kontinyu dan komprehensif.

posted by Agatho Supriani @ 01.06   1 comments
BUDAYA BERKOMPETISI YANG SEHAT

BUDAYA BERKOMPETISI YANG SEHAT

Era pasar bebas menuntut kita banyak memiliki kelebihan. Lebih giat, lebih cerdas, lebih kreatif, lebih komunikatif, lebih banyak menjalin jaringan. Situasi usaha secara global juga menunjukkan labilitas. Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini: keamanan, faktor SDM, birokrasi yang terkenal sangat berbelit-belit, dll. Ketika situasi bisnis seperti ini maka para investor sebenarnya banyak yang menoleh ke negara lain yang lebih kondusif untuk berbisnis, sebut saja Cina, Taiwan, atau Thailand.

Ada beberapa hal yang ironis antara yang faktual dan ideal menempel budaya di Indonesia. Banyak pengangguran-bangsa yang giat dan tekun, banyak terjadi kecelakaan dan bencana akibat human eror-bangsa yang cerdas (beberapa gelinitir orang memang sangat menonjol bahkan di jajaran internasional), bangsa ini terkenal dengan plagiator-plagiator-bangsa yang kreatif, bangsa yang terlalu sering terjadi tindakan teror dan kekerasan fisik-bangsa yang menjunjung tinggi musyawarah mufakat (suka ngobrol sambil ngopi, diskusi). Kalau melihat fakta, hal-hal yang luhur itu sudah mulai luntur. Sementara era pasar bebas ini menuntut kita berbudaya yang luhur tersebut. Konsekuensi dari lunturnya budaya yang luhur itu adalah ketidakmapuan kita untuk berkompetisi.

Contoh kasus dimana sekarang saya mencoba menggeluti dan mengamati secara serius adalah budaya dalam dunia kerja. Banyak demo, banyak pemutusan hubungan kerja, banyak investor yang pindah ke negara lain. Ketika terjadi hal ini mungkin para pekerja atau pebisnis masing-masing lebih banyak memikirkan diri sendiri, tidak terjadi proses untuk saling memikirkan yang lain. Akhirnya yang muncul pertama adalah ego masing-masing bukan bonum comune yang dipikirkan. Padahal jalinan kerjasama yang langgeng (kekal-berkepanjangan) hanya bisa terjadi apabila ada mutualisme (kedua belah pihak merasa saling diuntungkan). Pemerintah mencoba memfasilitasi itu dengan adanya outsourcing. Saya sangat menyetujui hal ini dengan syarat:

  1. PT. yang bergerak di bidang jasa outsourcing ini harus bersih (semua pihak tidak hanya pemerintah harus mengontrol gerak Perusahaan ini, misalnya, kalau ada Perusahaan yang mensyaratkan pelamar kerja untuk masuk kerja harus memakai uang bukan memakai test murni harus segera dilaporkan ke Depnaker dan Depnaker sebagai perwakilan dari Pemerintah buang budaya korupsi dan kebiasaan dan keenakan menerima uang sogokan)
  2. Perusahaan yang bergerak di bidang ini juga harus concern untuk persoalan training development karyawan, supaya keluhan pebisnis bahwa SDM kita kualitasnya kurang baik itu mulai kita kikis.
  3. Budaya transparansi harus benar-benar ada, karyawan harus diberitahu kewajibannya dengan jelas tetapi juga diberitahu haknya yang benar.
  4. Perusahaan outsourcing itu harus profesional dalam mengelola recruitment, placement, training development, compensation and benefit, indutrial-employee relation.
  5. Pebisnis atau investor tidak boleh menyalahgunakan istilah magang atau balai latihan kerja sebagai kedok untuk menyiasati aturan ketenagakerjaan (menghindari standar pengupahan yang ditetapkan oleh pemerintah). Pihak pemerintah dan masyarakat (kita semua) harus ikut mengontrol hal ini. Prakteknya banyak Perusahaan modal asing yang mensiasati ini sehingga mereka lebih mampu berkompetisi dalam berbisnis, karena pemagangan ini seharusnya pendidikan dan training tetapi kenyataannya hal itu tidak terjadi mereka (tenaga magang) lebih dimanfaatkan tenaganya sebagai helper.
  6. Masyarakat jangan mendukung praktek korupsi kecil-kecilan dengan mau memberikan uang ketika dimintai uang oleh Perusahaan yang bergerak di bidang jasa outsourcing, karena ini akan memutuskan upaya untuk membuat situasi kondusif, karena secara otomatis Perusahaan outsourcing tersebut sudah tidak profesional lagi. Namanya orang mau bekerja itu seharusnya mendapatkan upah setelah bekerja bukannya menyetorkan uang untuk mendapatkan kerja. Kita semua memiliki hak dasar untuk bekerja selama kita mampu bekerja. Alat untuk menyeleksi kamampuan kita adalah test bukan uang.
  7. Kita sebagai masyarakat sudah harus membiasakan diri, jangan merasa tabu, dengan istilah kontrak karena tidak ada yang negatif, kita bisa menjadi karyawan kontrak yang profesional dan nantinya diperhitungkan oleh para pebisnis. Ini juga mengindikasikan bahwa kita mulai membudayakan diri untuk berkompetisi, kalau kita meniadakan sistem kontrak, kita berarti menutup peluang bagi generasi baru. Faktanya: Usaha di sini banyak yang mulai colaps (jatuh) banyak yang sekadar mempertahankan diri karena faktor-faktor di atas yang ujung-ujungnya cost operationalnya tinggi. Sementara mungkin income rendah karena kualitas produksi atau jasanya rendah. Boro-boro (jangankan) untuk ekspansi usaha, untuk bertahan saja banyak yang tidak bertahan. Ketika tidak ada pengembangan usaha artinya lapangan kerja luasnya hanya seperti ini terus sementara generasi baru perlu tempat tersebut. Solusinya yang sudah permanen harus meningkatkan kinerja supaya hasilnya berkualitas tinggi, efeknya income company membaik, peluang pebisnis untuk berekspansi menjadi terbuka dan lapangan kerja semakin luas. Di sini (dengan situasi bisnis yang labil) outsourcing bisa menjadi solusi agar praktisi bisnis bisa lebih selektif untuk mencari karyawan yang benar-benar unggul sehingga mereka mampu bertahan untuk berbisnis di tanah air kita. Generasi baru terbuka peluang untuk bisa kerja dan hidup bahkan mengembangkan diri.

Dengan tujuan bonum commune (kebaikan bersama) dan demi perkembangan generasi baru dan bangsa saya ajak kita bisa menyetujui hal ini, membudayakan diri untuk berkompetisi secara sehat dengan generasi yang baru.

posted by Agatho Supriani @ 01.03   0 comments
about me
Foto Saya
Nama:
Lokasi: Jakarta, DKI, Indonesia

Saya Agatho, pelaku bisnis dan pembangun jaringan yang handal, yang per hari 23 April 2017 memulai serius di perusahaan K-Link International

Udah Lewat
Archives
sutbok
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus. Aenean viverra malesuada libero. Fusce ac quam.
judul

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus. Aenean viverra malesuada libero. Fusce ac quam.

Links
Template by
Blogger Templates